Senin, 17 Juni 2013

Harga BBM Naik, Haruskah Harga BBM Benar Benar Naik?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat transportasi Djoko Setijiwarno menilai kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebentar lagi ini akan meningkatkan ongkos transportasi masyarakat. Pendapatan masyarakat akan terkuras untuk biaya transportasi tersebut.

"Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi ini, beban ongkos transportasi untuk rakyat miskin semakin berat dan bisa membuat mereka tambah miskin," ungkap Djoko kepada Kompas.com di Jakarta, Senin (17/6/2013).
Djoko mengatakan, biaya transportasi dibanding pendapatan masyarakat secara standar Bank Dunia hanya mencapai 10 persen. Namun di Indonesia sudah menghabiskan sekitar 25-30 persen dari pendapatan sebulannya. Apalagi dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, yang rencananya akan naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter untuk premium dan naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter untuk solar, maka hal tersebut akan menggerus pendapatan masyarakat per bulannya hanya untuk beban transportasi.
"Beban biaya transportasi dibanding jumlah pendapatan masyarakat di China saja sudah 7 persen dan Singapura malah cuma 3 persen. Indonesia masih 25-30 persen," tambahnya.
Jika harga BBM bersubsidi resmi akan diberlakukan, Djoko menilai pemerintah harus segera membangun transportasi massal yang murah, nyaman dan aman. Jadi, bukan hanya membangun jalan raya atau jalan tol.
"Pemerintah kita itu malas untuk membuat kebijakan transportasi massal. Mereka pun hanya akan membuat kebijakan transportasi massal lima tahun sekali. Itupun hanya untuk menempel foto di dinding angkutan ketika kampanye," tambahnya.
Dengan kondisi itu, Djoko menilai masyarakat tidak perlu memilih wakil rakyat atau Presiden dengan karakter tadi. Kebanyakan pemimpin dengan karakter itu tidak memperdulikan kebutuhan rakyat, tapi hanya mementingkan partainya sendiri dan kepentingannya sendiri.


Jadi apakah harga BBM benar-benar harus dinaikkan??

Sering kali, ketika kita ragu memutuskan sesuatu, pada akhirnya situasi memaksa kita bertindak cepat. Akibatnya, kita jadi reaktif ketimbang antisipatif. Situasi inilah yang terjadi pada perekonomian kita hari-hari ini. Rupiah terus merosot mencapai titik terendah sejak tahun 2009, sementara Indeks Harga Saham Gabungan terus turun ke tingkat 4.600. Secara mengejutkan, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) dinaikkan 25 basis poin menjadi 6 persen.

Rupiah sempat diperdagangkan di pasar non-deliverable forward atau transaksi lindung nilai untuk kepentingan masa depan dan menembus Rp 10.000 per dollar AS. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari rekor tertingginya di tingkat 5.200, sementara imbal hasil obligasi merangkak naik. Apa sejatinya penyebab ”kepanikan” pasar ini?

Benar, faktor global menjadi salah satu penyebab gejolak. Di pasar keuangan dikenal istilah ”paradoks likuiditas”. Intinya, ketika terjadi gejolak, likuiditas akan mengalir ke tempat yang dianggap paling aman. Selama ini, negara-negara maju (khususnya Amerika Serikat) selalu percaya diri bahwa merekalah tempat paling aman untuk menyimpan aset keuangan. Itulah mengapa mereka tak terima ketika peringkat utangnya diturunkan oleh lembaga pemeringkat Standard & Poor’s. 

Itulah juga mengapa mereka tak pernah khawatir dengan penerbitan surat utang terus-menerus meskipun tingkat utangnya sudah terlalu tinggi. Negara maju percaya mereka tetap bisa berutang dengan biaya murah.
Argumen tersebut ada benarnya. Setiap kali stimulus ekonomi dilakukan di negara maju, likuiditas cenderung mengalir ke negara berkembang. Tujuannya, mencari imbal hasil lebih tinggi. Bayangkan, rata-rata suku bunga di negara maju hanya 0,25 persen. Bedanya dengan suku bunga kita bisa 5-6 persen. Namun, setiap terjadi gejolak, likuiditas akan kembali ke pasar negara maju, sementara kita harus menaikkan suku bunga untuk mempertahankan modal asing. Negara maju tetap menikmati suku bunga rendah, baik di masa normal maupun saat terjadi gejolak.

Bagi negara berkembang, argumen lama tentang ”dosa asal” (original sin) dalam ekonomi menjadi relevan. Ketidakmampuan sebuah negara membiayai diri dalam mata uangnya menjadi akar dari segala macam gejolak. Dalam kasus ini, jika masih mengandalkan investor asing, pasar modal dan pasar utang harus siap terpapar dengan risiko volatilitas.

Lalu apa kaitannya dengan bahan bakar minyak (BBM)? Masalah kepanikan tak pernah terjadi begitu saja. Faktor global terkait rencana The Fed mengurangi stimulus ekonomi, prospek ekonomi China, dan kondisi Eropa yang di bawah harapan tentu mendorong gejolak investor global. Namun, mengapa pasar bereaksi begitu keras kepada kita? Karena kita menyimpan beberapa persoalan fundamental.

Salah satu isu paling pokok dalam perekonomian kita adalah soal target defisit anggaran. Besarnya subsidi akibat konsumsi BBM yang terus meningkat telah menimbulkan komplikasi ke sejumlah hal: defisit fiskal, neraca transaksi berjalan, neraca pembayaran, dan nilai tukar. Secara teknis ekonomi, pilihannya hanya dua: mengurangi subsidi atau menerbitkan utang untuk menghindari defisit yang diperbolehkan oleh undang-undang (UU), yaitu sebesar 3 persen.

Sekadar penghematan dari sisi pengeluaran dan mendongkrak pemasukan sudah tidak lagi mampu menutup defisit yang akut. Pilihan lain, mengubah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait target defisit. Namun, itu membutuhkan proses politik yang panjang, sementara persoalannya begitu mendesak. Urgensi tak sekadar mengamankan pasar keuangan dari pelarian modal, tetapi juga menghindarkan diri dari instabilitas makroekonomi yang berkepanjangan.

Dinamika ekonomi biasanya dibagi dalam perspektif jangka pendek dan panjang. Jangka pendek biasanya terkait dengan isu stabilitas, sedangkan jangka panjang umumnya mengenai intermediasi. Keduanya terkait satu sama lain. Bagaimana mungkin berpikir soal intermediasi (memperbaiki kualitas fiskal, menambah belanja modal, dan memberikan insentif usaha kecil) jika situasinya tidak stabil. Maka, respons cepat mengatasi persoalan instabilitas, baik pada kurs maupun bursa saham, harus ditempatkan dalam konteks kepentingan jangka panjang, yaitu mendorong fungsi intermediasi.

Terkait dengan kenaikan harga BBM, semakin lama ditunda semakin kehilangan kesempatan untuk melakukan ekspansi dan memperbaiki sisi produksi kita. Meski begitu, penolakan kenaikan harga BBM, baik dari partai oposisi maupun sejumlah kelompok dalam masyarakat, tetap harus ditangkap esensinya. Selama ini terlalu banyak kebijakan yang implementasinya distortif dan mendorong perilaku pemburuan rente (rent seeking) ekonomi. Begitu juga di sektor 

minyak dan gas. Belum lagi berbagai praktik pemburuan rente yang ada di sekitar birokrasi pemerintah dan proses legislasi di parlemen. Sulit mencari dinamika ekonomi yang tak berlumuran dengan praktik pemburuan rente ekonomi di negeri ini. Tentu saja, itu masalah amat serius, tetapi bukan berarti bisa menegasi urgensi kebijakan BBM. Ibaratnya, ada orang mengalami serangan jantung dan harus segera diambil tindakan medis tertentu. Namun, tindakan tersebut dianggap tak relevan dengan menunjukkan betapa buruknya perilaku orang itu soal makanan dan olahraga. Tumpukan kolesterol telah menimbulkan komplikasi yang fatal. Korupsi dan inefisiensi birokrasi bagaikan tumpukan kolesterol dalam darah yang bisa mematikan fungsi jantung kita. Namun, tidak melakukan apa pun di saat kritis juga sebuah keputusan fatal.

Seruan pemberantasan korupsi bagaikan anjuran makan sehat dan olahraga teratur. Begitu mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan atau, kalaupun dilakukan, hanya satu atau dua kali. Padahal, untuk menghindari serangan jantung, olahraga harus dilakukan secara teratur dan konsisten dalam jangka panjang. Apakah partai politik konsisten melawan korupsi? Jika tidak, baik yang dikritik (pemerintah) maupun yang mengkritik (parlemen) sama-sama mengidap hipokripsi. Penyakit yang juga jamak di negeri ini.

Oleh : A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar