Minggu, 16 Juni 2013

Inikah Bukti Nenek Moyang Manusia adalah Kera?


Tim peneliti dari Amerika Serikat dan Australia melakukan penelitian fosil gigi untuk menghitung kapan bayi manusia purba (Neanderthal) berhenti menyusui (disapih). Studi ini juga melibatkan bayi manusia dan kera di California National Primate Research Center, University of California.
Dilansir Heritagedaily, Minggu (26/5/2013), menggunakan teknik baru, peneliti menyimpulkan bahwa sedikitnya satu bayi Neanderthal disapih pada usia yang sama seperti bayi manusia modern. Tim juga mengklaim mampu menentukan waktu yang tepat untuk kelahiran, ketika bayi diberi makan secara ekslusif oleh air susu ibu (ASI) dan proses penyapihannya.
Peneliti mengetahui dengan mempelajari jejak mineral pada fosil gigi. Dengan melakukan studi pada gigi kera dan membandingkannya dengan catatan pusat, peneliti bisa menunjukkan bahwa teknik ini adalah akurat.
Setelah memvalidasi teknik pada kera, para penelti menerapkannya pada gigi manusia dan gigi Neanderthal. Mereka menemukan bahwa bayi Neanderthal diberi ASI selama tujuh bulan, yang diikuti dengan tujuh bulan suplementasi (pola yang sama dengan manusia modern). 
Meskipun ada beberapa variasi di antara budaya manusia, namun transisi untuk mempercepat pemberian makanan selain ASI diperkirakan telah muncul dalam sejarah leluhur manusia. Pemberian makanan ini dianggap sebagai bentuk perawatan bayi yang lebih kooperatif dan akses makanan yang lebih bergizi.
Periode laktasi pendek, bisa berarti kesenjangan yang lebih pendek pada interval kehamilan dan tingkat tinggi dari reproduksi. Ada perdebatan di antara peneliti bahwa kapan nenek moyang manusia berevolusi dengan percepatan penyapihan.
Teknik ini membuka peluang yang luas untuk menyelidiki lebih lanjut terkait laktasi (pengeluaran susu) pada fosil dan koleksi museum gigi primata.  "Dengan menerapkan teknik-teknik baru untuk gigi primata dalam koleksi museum, kita bisa lebih tepat mengetahui lebih detail terkait pemberian susu ibu di seluruh individu dalam spesies, serta kehidupan evolusi sejarah di antara spesies," kata peneliti Katie Hinde dari Harvard University.

LONDON - Peneliti seolah tak bosan-bosannya melakukan pengamatan dan studi untuk mencari kemiripan antara manusia dengan primata (bangsa mamalia yang meliputi kera atau monyet). Baru-baru ini, penelitian di Inggris menemukan bahwa 1 dari 13 orang memiliki kaki mirip simpanse.
Dilansir Newscientist, Jumat (31/5/2013), penelitian bermula dari ketidaksetujuan Jeremy DeSilva dan Simone Gill di Boston University pada textbooks (buku-buku pelajaran) bahwa kaki manusia lebih efisien untuk berjalan. Sementara kera, memiliki kaki yang fleksibel dan cocok untuk memanjat pohon dan bergerak di pohon.
Kedua peneliti ini meminta 400 orang dewasa untuk berjalan-jalan di sekitar Boston Museum of Science. Gerakan berjalan para relawan ini kemudian di teliti dan difilmkan.
Peneliti menemukan bahwa 8 persen orang memiliki beberapa fleksibilitas, seperti yang terlihat pada kera penghuni pohon. Studi ini dilaporkan dalam American Journal of Physical Anthropology.
Peneliti mengamati pada anatomi kaki manusia, yang menurutnya memiliki kesamaan dan fleksibel seperti simpanse. "Saya terkejut dengan ini," ungkap DeSilva.
Robin Huw Crompton di University of Liverpool, Inggris mengatakan, kaki fleksibel telah ada sejak awal spesies manusia. Kaki fleksibel ini menurutnya sebagai peninggalan dari spesies yang dahulu tinggal di pepohonan. 
Lebih lanjut ia mengatakan, fitur lainnya pada kaki manusia yang telah hilang antara lain pada jari-jari kaki untuk kekuatan mencengkeram. Sementara simpanse, misalnya, memiliki jari-jari kaki yang saling berlawanan untuk mencengkeram.
Crompton percaya pada kebanyakan kaki manusia bisa menghasilkan fleksibilitas dalam keadaan tertentu serta stabilitas yang sangat penting. Desilva memiliki teori lain, menurutnya, kaki fleksibel mengakibatkan kemampuan berjalan yang kurang efisien.
Menurutnya, kaki fleksibel akan menjadi kerugian setelah nenek moyang manusia meninggalkan pohon sebagai habitatnya. "Dugaan saya adalah bahwa kita mendapatkan lebih banyak variasi daripada sebelumnya, mungkin karena sepatu berdampak pada anatomi kaki," pungkasnya.

0 komentar:

Posting Komentar